(Ramule.com) Hijrah adalah sunnatullah dalam
kehidupan para nabi dan rasul, seperti Nabi Ibrahim, Nabi Yusuf, Nabi
Musa, dan Nabi Muhammad SAW. Oleh sebab itu, mereka melakukannya. Dengan
berhijrah, mereka bisa menegakkan agama Allah. Dengan berhijrah, para
pengikut setia mereka dapat keluar dan bebas merdeka dari sistem
Jahiliyah dan penindasan yang dilakukan para penguasa zhalim terhadap
mereka.
Sebab itu, Allah jadikan hijrah itu
salah satu pilar utama penegakan Islam. Di samping itu, dengan hijrah
seorang mukmin mendapat perlindungan dari saudara-saudaranya yang lain.
Allah berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 72 yang artinya, “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan
jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat
kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu
lindung melindungi.
Dan (terhadap) orang-orang yang beriman
tetapi belum berhijrah, tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu
melindungi mereka sebeum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, kamu wajib
memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian
antara kamu dan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Bagian Bumi yang paling Baik
Sebelum Rasulullah SAW hijrah ke
Madinah, beberapa kalangan di antara penduduk Madinah telah memeluk
Islam. Berita ini pun sampai ke Makkah. Tersebarnya kabar tentang masuk
Islamnya sekelompok penduduk Madinah membuat orang-orang kafir Quraisy
semakin meningkatkan tekanan terhadap orang-orang mukmin di Makkah.
Dalam upaya menyelamatkan dakwah Islam
dari gangguan kafir Quraisy, Rasulullah SAW, atas perintah Allah,
bersegera hijrah dari Makkah ke Madinah. Namun sebelumnya Nabi SAW
memerintahkan kaum mukminin agar hijrah terlebih dahulu ke Madinah. Para
sahabat segera berangkat secara diam-diam agar tidak dihadang oleh
musuh.
Menjelang Rasulullah SAW hijrah, kaum
kafir Quraisy telah merencanakan upaya jahat untuk membunuh beliau.
Ketika saatnya tiba, sebagaimana dituturkan oleh Muhammad Husain Haikal
dalam Hayat Muhammad, pemuda-pemuda yang sudah disiapkan kaum Quraisy
untuk membunuh Rasulullah di malam itu sudah mengepung rumah beliau.
Pada saat bersamaan, Rasulullah menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk
memakai jubahnya yang berwarna hijau dan tidur di kasur beliau. Nabi SAW
meminta Ali supaya ia tinggal dulu di Makkah untuk menyelesaikan
berbagai keperluan dan amanah umat sebelum melaksanakan hijrah.
Para pemuda yang sudah disiapkan
Quraisy, dari sebuah celah, mengintip ke tempat tidur Nabi SAW. Mereka
melihat ada sesosok tubuh di tempat tidur itu dan mereka pun puas bahwa
orang yang mereka incar belum lari.
Menjelang larut malam, Rasulullah saw keluar dari rumah beliau dan menaburkan pasir ke kepala para pemuda tsb sambil membaca :
“Dan Kami adakan di hadapan mereka
dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata)
mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin [36]: 9)
Rasulullah pun lolos dari penglihatan
para pemuda tsb dan menuju ke rumah Abu Bakar dan terus bertolak ke arah
selatan, ke arah Yaman, menuju Gua Tsur.
Untuk mengelabui para pemuda Quraisy
yang telah menutup semua jalur menuju Madinah, Rasulullah memutuskan
menempuh jalan lain, rute yang berbeda, dari jalur yang biasa digunakan
penduduk Makkah untuk menuju Madinah. Beliau juga memutuskan akan
berangkat bukan pada waktu yang biasa.
Para pemuda Quraisy yang berencana akan
menyergap Nabi SAW pun kemudian memasuki rumah beliau. Namun alangkah
terkejutnya mereka, karena ternyata beliau sudah tidak ada di tempat.
Mereka hanya mendapati Ali sedang tidur di kasur beliau.
Di sinilah, sebagaimana dipaparkan
Muhammad Husain Haikal, dimulainya kisah yang paling cemerlang dan indah
yang pernah dikenal manusia dalam sejarah pengejaran yang penuh bahaya,
demi kebenaran, keyakinan, dan keimanan.
Yang ditempuh Rasulullah setelah keluar
dari rumah beliau adalah Gua Tsur, yang berjarak sekitar enam hingga
tujuh kilometer di selatan Makkah. Sedangkan Madinah berada di sebelah
utara Makkah. Langkah ini diambil untuk mengelabui kafir Quraisy.
Di Gua Tsur ini, Rasulullah dan Abu Bakar, yang menemani beliau, tinggal selama kurang lebih tiga hari.
Sebelum melangkahkan kaki, Rasulullah
menatap kota Makkah dari kejauhan. Dengan berlinang air mata, beliau
berucap, “Demi Allah, engkaulah bagian bumi Allah yang paling baik dan
paling aku cintai. Andai kata tidak diusir, aku tak akan meninggalkanmu,
wahai Makkah.”
“Janganlah Engkau Bersedih Hati…”
Gua yang sempit dan jarang disinggahi
manusia itu dipilih untuk satu tujuan yang tidak diketahui siapa pun
kecuali Nabi, Abu Bakar, sahabat yang kelak menjadi mertua beliau, dan
ada empat orang, yakni Ali bin Abu Thalib, Abdullah dan Asma (keduanya
putra-putri Abu Bakar), serta pembantu Abu Bakar, Amir bin Fuhairah.
Keempat orang itu mendapat tugas yang sangat strategis bagi kesuksesan perjalanan yang amat bersejarah tersebut.
Ali berdiam di rumah Rasul SAW untuk
mengelabui kaum musyrikin. Abdullah ditugasi untuk memantau perkembangan
berita di kalangan orang-orang kafir Makkah lalu menyampaikannya kepada
Rasul pada malam harinya ke tempat persembunyian. Asma setiap sore
membawa makanan buat Rasul dan ayahnya. Amir bin Fuhairah ditugasi
menggembalakan kambing Abu Bakar, memerah susu, dan menyiapkan daging.
Apabila Abdullah bin Abu Bakar kembali dari tempat mereka bersembunyi di
gua itu, datang Amir mengikutinya dengan kambingnya guna menghapus
jejak.
Sementara itu pihak Quraisy berusaha
keras mencari jejak Rasul SAW dan Abu Bakar. Pemuda-pemuda Quraisy
dengan wajah beringas membawa senjata tajam, mondar-mandir mencari ke
segenap penjuru.
Ketika bergerak menuju Gua Tsur, mereka
menyambangi bibir gua itu. Sang pemimpin hendak menerobos masuk, tapi
kemudian tidak jadi.
“Kenapa tidak masuk ke dalam?” tanya anak buahnya.
“Setelah aku amati, tampaknya gua ini
tak mungkin dijadikan persembunyian. Di dalamnya ada sarang laba-laba
dan sarang burung liar hutan. Akal sehatku mengatakan, tidak mungkin ada
orang yang masuk ke dalamnya, bahkan tak ada bukti yang menunjukkan
jejak orang yang kita cari,” katanya.
Sedangkan di dalam gua, Abu Bakar merasa
khawatir. Apalagi mendengar derap langkah orang-orang itu. Ia berkata
kepada Rasulullah, “Wahai Rasul, andai salah seorang di antara mereka
menemukan kita, habislah kita. Jika aku mati, apalah diriku. Tapi jika
dirimu yang mati, tamatlah riwayat dakwahmu.
Bagaimana jadinya?”
Beliau menjawab dengan balik bertanya,
“Apa yang ada di benakmu jika berduanya kita di sini juga ada Allah,
yang ketiga di antara kita?”
Maka turunlah firman Allah yang artinya,
“Kalau kamu tidak menolongnya, sesungguhnya Allah telah menolongnya,
(yaitu) tatkala orang-orang kafir mengusirnya, sedang dia salah seorang
dari dua orang itu, ketika keduanya berada dalam gua. Waktu dia berkata
kepada temannya, ‘Janganlah engkau bersedih hati, sesungguhnya Allah
bersama kita.’ Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya dan
dikuatkanNya dengan pasukan yang tidak kamu lihat. Dan Allah menjadikan
seruan orang-orang kafir itu rendah, sedangkan kalimah Allah itulah
yang tinggi. Dan Allah Maha Perkasa dan Bijaksana.” — QS At-Tawbah (9):
40.
Padang Pasir nan Gersang
Setelah meyakini bahwa apa yang dicari
tampaknya tidak membuahkan hasil, gerombolan musyrikin ini meninggalkan
gua tersebut. Tiga hari tiga malam Rasulullah SAW bersama Abu Bakar di
dalam gua yang senyap dan gelap itu.
Pada hari ketiga, ketika keadaan sudah
tenang, unta untuk kedua insan yang saling mencintai ini didatangkan
oleh Amir bin Fuhairah. Asma pun datang menyiapkan makanan.
Dikisahkan, Asma merobek ikat
pinggangnya lalu sebelahnya digunakan untuk menggantungkan makanan dan
yang sebelah lagi diikatkan, sehingga ia lalu diberi nama Dzat
an-Nithaqain (Yang Memiliki Dua Sabuk).
Setelah tiga malam berada di gua, pada
malan Senin tanggal 1 Rabi’ul Awwal tahun pertama Hijriyyah, atau pada
tanggal 16 September 622 M, Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Amir bin
Fuhairah, beserta seorang penunjuk jalan yang bernama Abdullah bin
Uraiqith, keluar dari gua, berangkat menuju Madinah. Rasulullah SAW
duduk di atas unta, yang dalam kitab tarikh disebut dengan nama
“Al-Qushwa”.
Menjelang siang, Rasulullah SAW dan Abu
Bakar berangkat meninggalkan Gua Tsur. Karena mengetahui pihak Quraisy
sangat gigih mencari mereka, mereka mengambil rute jalan yang tidak
biasa ditempuh orang. Dengan ditemani Amir bin Fuhairah dan mengupah
seorang Badwi dari Banu Du’il, Abdullah bin ‘Uraiqith, sebagai penunjuk
jalan, mereka berempat menuju selatan Lembah Makkah, kemudian menuju
Tihamah di dekat pantai Laut Merah. Sepanjang malam dan siang, mereka
menempuh perjalanan yang amat berat.
Selama tujuh hari Rasulullah SAW bersama
Abu Bakar, Amir, dan penunjuk jalannya menyusuri padang pasir nan luas
dan gersang. Mereka beristirahat di siang hari karena panas yang membara
dan kembali melanjutkan perjalanan sepanjang malam, mengarungi padang
pasir dengan udara dingin yang menusuk tulang. Hanya iman kepada
Allahlah yang membuat Rasulullah dan sahabatnya berteguh hati dan
merasakan damai yang menyelimuti.
Sambutan Penuh Suka Cita
Pada hari Senin tanggal 8 Rabi’ul Awwal
tahun ke-14 dari nubuwwah atau tahun pertama dari hijrah, bertepatan
dengan tanggal 23 September 622 M, Rasulullah dan rombongan tiba di Quba
dengan sambutan yang luar biasa oleh kaum muslimin yang ada di sana.
Kemudian berjalan hingga berhenti di Bani Amr bin Auf. Abu Bakar
berdiri, sementara Rasulullah duduk sambil diam. Orang-orang Anshar yang
belum pernah melihat dan bertemu Rasulullah mengira bahwa yang berdiri
itulah Rasulullah, padahal itu Abu Bakar.
Tatkala panas matahari mengenai
Rasulullah, Abu Bakar segera memayungi beliau dengan jubahnya. Saat
itulah mereka baru tahu bahwa yang duduk dan diam itulah Rasulullah SAW.
Setelah dari Quba, atau sekitar satu
kilometer dari Quba, beliau bersama umat Islam lainnya melaksanakan
shalat Jum’at. Shalat Jum’at dilaksanakan di tempat Bani Salim bin Auf.
Untuk memperingati peristiwa itu, dibangunlah masjid di lokasi ini
dengan nama “Masjid Jum’at”.
Pada hari Jum’at itu pula beliau melanjutkan perjalanan menuju Madinah.
Berita tentang hijrahnya Nabi SAW yang
akan menyusul kaum muslimin Makkah yang telah tiba sebelumnya sudah
tersiar di Yatsrib (Madinah). Penduduk kota ini sangat mafhum, betapa
penderitaan akibat kekerasan kafir Quraisy telah banyak menimpa Nabi
SAW. Oleh karena itu kaum muslimin menantikan penuh harap kedatangan
Rasulullah dengan hati yang khawatir tapi sekaligus berbunga-bunga ingin
melihatnya, ingin mendengarkan tutur katanya.
Banyak di antara mereka yang belum
pernah melihat Nabi, meskipun sudah mendengar ihwalnya dan mengetahui
pesona bahasanya serta keteguhan pendiriannya. Semua itu membuat mereka
rindu sekali ingin bertemu.
Akhirnya, Rasulullah tiba dengan selamat
di kota Madinah pada hari Jum’at, 12 Rabi’ul Awwal, tahun 13
Kenabian/12 atau 13 September 622 M. Sambutan penuh suka cita diiringi
isak tangis penuh haru dan kerinduan menyeruak di langit Madinah. Syair
pun berkumandang:
“Thola‘al badru ‘alayna Min Tsaniyyatil
Wada’ Wajabasy syukru ‘alayna Ma da‘a lillahi da‘ Ayyuhal mab‘utsu fina
Ji’ta bil amril mutha’ “
Telah nampak bulan purnama Dari
Tsaniyyah Al-Wada’ Wajiblah kami bersyukur Atas masih adanya penyeru
kepada Allah Wahai orang yang diutus kepada kami Engkau membawa sesuatu
yang patut kami taati
Abu Ayyub segera menyokong Nabi. Ia pun
tampil menjadi penolongnya. Dengan penuh suka cita, ia telah
mempersiapkan bangunan rumah bagi Nabi. “Terserah olehmu, wahai kekasih
Allah… bagian mana saja ingin engkau tinggali, kami sangat bahagia
bersamamu,” kata Abu Ayyub.
Di rumah pemberian Abu Ayyublah Nabi SAW
memilih untuk tinggal bersama istrinya, Saudah binti Zamah, dan kedua
putrinya, Fathimah dan Ummu Kultsum. Hari itu jatuh pada hari Jum’at,
sehingga beliau bersegera untuk melaksanakan ibadah Jum’at yang pertama
kali diselenggarakan di Madinah.
Empat hari sebelumnya, sebelum tiba di
Madinah, di Lembah Wadi Ranunah, Baqi, tempat penjemuran kurma milik
dua orang anak yatim dari Banu Najjar, unta Nabi SAW menghentikan
langkahnya. Nabi SAW turun dari untanya dan bertanya, “Kepunyaan siapa
tempat ini?”
“Kepunyaan Sahl dan Suhail bin ‘Amr, wahai Rasulullah,” jawab Ma’adh bin ‘Afra, wali kedua anak yatim itu.
Kedua anak yatim itu berharap kepada
Nabi Muhammad SAW agar di lahan milik mereka didirikan masjid. Nabi
menyetujuinya, dan itulah masjid yang pertama kali berdiri dalam
perjalanan hijrah yang amat berkesan.
Sebelum tibanya Rasulullah SAW dan Abu
Bakar RA, rombongan pertama Muhajirin telah lebih dulu sampai di Yatsrib
beberapa hari sebelumnya.
Aisyah RA meriwayatkan, permusuhan dan
penyiksaan terhadap kaum muslimin bertambah berat di Makkah. Mereka
datang dan mengadu kepada Rasulullah SAW meminta izin berhijrah.
Pengaduan itu dijawab oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, “Sesungguhnya
aku telah diberi tahu bahwa tempat hijrah kalian adalah Yatsrib. Barang
siapa ingin hijrah, hendaklah ia menuju Yatsrib.”
Para sahabat pun bersiap-siap, mengemas
semua keperluan perjalanan. Bahkan sebahagian besar tidak memperdulikan
lagi harta benda milik mereka. Mereka ingin segera melaksanakan perintah
Rasul itu.
Mereka berangkat secara sembunyi-sembunyi.
Sahabat yang pertama kali sampai di
Madinah ialah Abu Salamah bin Abdul Asad, kemudian Amir bin Rab‘ah
bersama istrinya, Laila binti Abi Hasymah. Setelah itu para sahabat
Rasulullah SAW datang secara bergelombang. Mereka tiba di rumah-rumah
kaum Anshar dan mendapatkan tempat perlindungan. Tidak seorang pun di
antara sahabat Rasulullah SAW yang berani hijrah secara terang-terangan
kecuali Umar bin Al-Khaththab RA.
Ali bin Abi Thalib RA meriwayatkan,
ketika Umar hendak berhijrah, ia membawa pedang, busur, panah, dan
tongkat yang diselempangkan di bahunya yang kokoh. Saat meninggalkan
rumahnya, ia menuju Ka’bah. Sambil disaksikan beberapa orang tokoh
Quraisy, Umar melakukan thawaf tujuh kali dengan tenang.
Setelah thawaf ia menuju Maqam Ibrahim
dan mengerjakan shalat. Seusai shalat, ia berdiri seraya berkata,
“Semoga celakalah wajah-wajah kalian! Wajah-wajah inilah yang akan
dikalahkan Allah! Barang siapa ingin ibunya kehilangan anaknya, atau
istrinya menjadi janda, atau anaknya menjadi yatim piatu, hendaklah ia
menghadangku di balik lembah ini.”
Tidak seorang pun berani mengikuti Umar kecuali beberapa kaum lemah yang telah diberi tahu Umar dan dilindungi perjalanannya.
Kemudian Umar berjalan dengan gagah berani dan santai.
Demikianlah, secara berangsur-angsur
kaum muslimin melakukan hijrah ke Madinah sehingga tidak ada yang
tertinggal di Makkah, kecuali Rasulullah SAW, Abu Bakar RA, Ali RA,
orang-orang yang ditahan, orang-orang sakit, dan orang-orang yang belum
mampu keluar meninggalkan Makkah, termasuk ayah dan beberapa orang anak
Abu Bakar RA.
Kisah Keteladanan
Saat hijrah berlangsung, banyak
peristiwa dan kejadian penting yang patut menjadi teladan umat Islam. Di
antaranya kisah Suraqah bin Malik bin Ja’syam. Ia bermaksud menangkap
Rasulullah SAW dan Abu Bakar, lalu menyerahkannya kepada Quraisy, karena
tergiur dengan iming-iming yang diberikan bila dapat menangkap Rasul
SAW.
Namun, belum sempat mendekati Rasul,
kudanya terperosok dan ia pun terjungkal. Hal itu berulang-ulang terjadi
hingga akhirnya ia memohon maaf dan mengaku terus terang perbuatannya
untuk menangkap Rasulullah SAW karena tergoda oleh imbalan besar yang
dijanjikan orang-orang kafir Quraisy.
Rasulullah kemudian memaafkannya. Inilah
kebesaran jiwa Nabi, yang mesti diteladani umat. Walaupun seseorang
sudah bersalah, kalau ia meminta maaf, kita wajib memaafkannya.
Perjalanan hijrah para sahabat pun
banyak yang dapat diambil hikmahnya. Mereka berbondong-bondong berhijrah
ke Madinah meninggalkan harta, negeri, dan keluarga besar mereka.
Mereka bersabar dengan semua kesulitan dan rintangan yang ada di
perjalanan mereka ke Madinah. Para muhajirin ini ada yang berkelompok,
seperti hijrahnya Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu dengan
‘Ayyasy dan Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha bersama anak dan
pendampingnya, dan ada yang berhijrah seorang diri, seperti hijrahnya
Shuhaib Ar-Rumi Radhiyallahu ‘Anhu.
Ketika ia berangkat hijrah, kaum kuffar
Quraisy menghalanginya di tengah jalan. Mereka berkata kepada Shuhaib
Ar-Rumi, “Engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin. Kemudian
hartamu bertambah banyak ketika bersama kami. Sekarang engkau ingin
pergi dengan membawa hartamu. Demi Allah, itu tidak akan bisa terjadi!”
Mendengar teguran ini, Shuhaib
mengajukan penawaran, “Bagaimana pendapat kalian jika aku memberikan
seluruh hartaku kepada kalian? Apakah kalian akan membiarkan aku pergi?”
Mereka menjawab, “Ya.”
Kisah ini terdengar oleh Rasulullah SAW, kemudian beliau bersabda, “Shuhaib telah mendapatkan keberuntungan.”
Dalam riwayat lain disebutkan dari
Shuhaib bahwa ia berkata kepada orang-orang kafir Quraisy ketika mereka
menyusul dirinya, “Maukah kalian aku beri beberapa uqiyah emas lalu
kalian membiarkan aku pergi?”
Mereka pun setuju.
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Galilah di depan pintu (rumah)ku. Di bawahnya terdapat beberapa uqiyah emas.’
Lalu aku pergi dan bisa menyusul Rasulullah di Quba sebelum beliau pergi meninggalkannya.
Ketika melihatku, beliau bersabda,
‘Wahai Abu Yahya, perniagaan yang menguntungkan.’ Kemudian beliau
membaca ayat ini (yang artinya, ‘Dan di antara manusia ada orang yang
mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha
Penyantun kepada hamba-hamba-Nya).” — QS Al-Baqarah (2) 207.
Dalam riwayat lainnya ia berkata kepada
orang Quraisy, “Sesungguhnya aku sudah tua dan aku memiliki harta dan
perhiasan yang banyak. Tidak ada mudharat bagi kalian seandainya aku
ikut kalian atau ikut musuh kalian. Aku serahkan semua harta dan
perhiasanku dan aku beli agamaku dari kalian dengan itu semua.”
Akhirnya orang-orang Quraisy setuju dan
membiarkan jalannya menuju Madinah. Maka berangkatlah kembali Shuhaib
Ar-Rumi menuju Madinah, lalu turunlah ayat di atas.
Imam Al-Alusi dalam kitab Ruh Al-Ma‘ani
(2/97) menjelaskan kisah ini dengan mengatakan, “Shuhaib ketika
berangkat berhijrah dikejar beberapa tokoh musyrikin, lalu ia turun dari
kendaraannya dan mengeluarkan isi tempat panahnya serta menyiapkan
busurnya. Kemudian ia berkata, ‘Wahai kaum Quraisy, sungguh aku seorang
ahli memanah. Sungguh, demi Allah, tidaklah kalian mampu menyentuhku
hingga aku habiskan isi tempat anak panahku ini dan aku tebas dengan
pedangku selama tidak lepas pedang tersebut di tanganku. Setelah itu
barulah kalian bisa berbuat sesuka kalian.’
Lalu mereka menjawab, ‘Serahkanlah kepada kami isi rumah dan hartamu di Makkah dan kami akan membiarkan kamu pergi.’
Kemudian orang-orang musyrik itu
membuat perjanjian bahwa, bila ia menyerahkan kepada mereka, mereka
akan membiarkannya pergi, maka ia pun menyetujuinya. Maka Rasulullah pun
bersabda, “Jual-beli yang menguntungkan, jual-beli yang menguntungkan.”
Lihatlah bagaimana komitmen terhadap
Islam mengalahkan keinginan untuk memiliki semua harta, sehingga ia
serahkan seluruh harta bendanya agar dapat berhijrah ke kota Madinah. Ia
serahkan seluruh harta bendanya bukan karena takut menghadapi
orang-orang Quraisy, namun karena ingin berhijrah ke kota Madinah dengan
tanpa masalah. Perjuangan yang patut dicontoh dan diteladani.
***
Awal penindasan kaum kafir Quraisy
terhadap kaum muslimin terjadi pada pertengahan atau akhir-akhir tahun
keempat kenabian. Saat itu Az-Zahro telah mencapai usia delapan setengah
tahun atau hampir mencapai sembilan tahun. Kemudian penindasan itu
mencapai puncaknya pada pertengahan tahun kelima.
Ujian ini membuat kaum muslimin berpikir
mencari cara yang dapat menyelamatkan mereka dari siksaan yang pedih
itu. Dalam kondisi tersebut turunlah Surat Az-Zumar, yang di dalamnya
terkandung isyarat yang agak jelas untuk melakukan hijrah. Allah SWT
berfirman yang artinya, ”Katakanlah, ‘Hai hamba-hambaKu yang beriman,
bertaqwalah kepada Tuhanmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini
memperoleh kebaikan, dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya
orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
— QS Az-Zumar (39): 10.
Rasulullah SAW mengetahui bahwa
Ashhimmah An-Najasyi, raja Habasyah, adalah seorang raja yang adil dan
tidak mau menzhalimi seorang pun. Maka beliau memerintahkan kaum
muslimin agar hijrah ke Habasyah.
Pada bulan Rajab tahun kelima kenabian,
hijrahlah kelompok pertama dari para sahabat menuju Habasyah. Mereka
terdiri dari dua belas orang laki-laki dan empat orang perempuan.
Pemimpinnya Utsman bin Affan, yang hijrah bersama istrinya, Sayyidah
Ruqayyah, putri Rasulullah SAW. Nabi SAW mengatakan ihwal mereka berdua,
“Sesungguhnya mereka adalah keluarga pertama yang hijrah di jalan Allah
setelah Ibrahim dan Luth.”
Fathimah berpisah dengan kakak
perempuannya, Ruqayyah. Dalam perpisahan tentu terdapat kekhawatiran,
tetapi hal itu menjadi sesuatu yang remeh di jalan menegakkan agama
Allah. Bahkan, segala sesuatu menjadi remeh. Anak menjadi remeh, dan
harta pun menjadi remeh. Tanah air juga menjadi remeh di jalan
meninggikan agama dan kalimat yang haq. Ruqayyah pergi hijrah meskipun
ia putri Rasulullah SAW. Ia bahkan termasuk orang yang pertama hijrah
untuk membuka pintu hijrah bagi kaum mukminin yang lain. Dalam hal ini
tidak ada beda antara putra-putri Rasulullah dan kaum mukminin semuanya,
karena Islam bukanlah agama diskriminatif.
Fathimah menghapus air mata yang keluar
karena perpisahan dengan saudara perempuannya. Pada kedua bibirnya
tersungging senyuman, karena saudara itu akan mendapatkan ganjaran yang
besar dari Allah SWT.
Setelah perpisahan ia pergi menjumpai
ibunya agar ibunya, Sayyidah Khadijah, melihat air mata di kedua matanya
dan senyuman di bibirnya. Hijrah yang diberkahi dan pertama kali menuju
Habasyah itu dapat berlangsung dengan selamat.
Fathimah dan ayahnya kemudian merasa
rindu untuk mendengar berita-berita tentang Ruqayyah, dan Allah
mengabulkan keinginan kedua hati itu. Kemudian datang seorang perempuan
dari kalangan Quraisy yang mengatakan, “Wahai Muhammad, sungguh aku
melihat menantumu bersama dengan istrinya di atas keledai yang
ditungganginya.”
Maka Rasulullah SAW mengatakan, “Semoga
Allah menyertai keduanya. Sesungguhnya Utsman adalah orang pertama yang
hijrah dengan keluarganya setelah Nabi Luth AS.” Dalam riwayat lain
dikatakan, “Sesungguhnya mereka berdua adalah orang pertama yang hijrah
ke jalan Allah setelah Nabi Luth.”
Ruqayyah tidak kurang kerinduannya
dibandingkan ayahnya, ibunya, dan saudara-saudara perempuannya. Bahkan,
mungkin ia termasuk yang paling menginginkan kembali ke Makkah di antara
mereka yang hijrah itu. Dan mungkin itu karena ia belum pernah
kehilangan kedua orangtuanya dan saudara-saudara perempuannya sebelum
itu sebagaimana ia kehilangan mereka saat itu. Kejadian-kejadian berat
yang dialaminya terutama ketika ia keguguran pada kandungannya yang
pertama, yang sangat mempengaruhi kesehatannya, sehingga orang khawatir
ia akan menjadi terlalu lemah dan letih.
Tetapi ia mendapatkan perhatian suaminya
dan kecintaannya, juga kasih sayang dan perhatian dari orang-orang yang
hijrah, yang semua itu membantunya untuk mengatasi krisis yang berat,
sehingga ia kembali pulih. Lebih-lebih dengan datangnya berita-berita
dari Makkah bahwa kaum Quraisy telah putus asa untuk mengganggu
Rasulullah dan para sahabatnya, sehingga pemboikotan yang sangat keras
yang mereka timpakan kepada Bani Hasyim akhirnya dihentikan.
Semuanya Bersujud
Akar dari berita yang tersebar itu
adalah, suatu ketika, Rasulullah keluar di bulan Ramadhan pada tahun itu
menuju Masjidil Haram. Ketika itu Masjidil Haram dipenuhi oleh
sekumpulan orang Quraisy yang banyak jumlahnya. Di antaranya terdapat
para pemuka dan pembesarnya. Lalu Rasulullah berdiri di tengah-tengah
kumpulan ini. Kaki Fathimah tidak beranjak dari tempatnya menyaksikan
keberanian ayahnya berada di tengah-tengah sekumpulan besar para
musuhnya. Tiba-tiba Fathimah mendengar suara beliau yang keras ketika
membaca surah An-Najm. Orang-orang kafir itu sebelumnya tidak pernah
mendengar kalam Allah, karena cara mereka yang turun-temurun adalah
mengamalkan apa yang dipesankan oleh sebagian mereka kepada sebagian
yang lain.
Di antara ucapan mereka adalah
sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an yang artinya, ”Janganlah
kalian mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al-Qur’an ini dan buatlah
hiruk pikuk terhadapnya, supaya kalian dapat mengalahkan (mereka).” — QS
Fushshilat (41): 26.
Ketika Rasulullah mendatangi mereka
secara tiba-tiba dengan membaca surah ini dan mengetuk telinga mereka
dengan kalam Ilahi yang memukau, mereka merasa bingung dengan apa yang
mereka alami. Maka masing-masing mereka mendengarkannya dengan baik.
Tidak terpikir di benak mereka saat itu sesuatu selainnya, sampai ketika
beliau membaca akhir surah ini seolah-olah hati mereka menjadi terbang.
Kemudian beliau membaca ayat yang artinya, ”Maka bersujudlah kalian
kepada Allah dan sembahlah (Dia).”
Setelah itu beliau sujud, dan tak ada seorang pun yang dapat menguasai dirinya sehingga semuanya bersujud.
Fathimah heran menyaksikan hal itu.
Sungguh itu suatu pemandangan yang indah yang ia saksikan. Para pemimpin
kekafiran dan pembesar-pembesarnya menjadi bingung berhadapan dengan
indahnya kebenaran. Penentangan yang ada di dalam hati mereka yang
sombong dan suka mengejek itu pun sirna seketika. Mereka tidak bisa
menahan diri untuk bersujud kepada Allah. Tiba-tiba diri mereka menjadi
kosong dan dingin ketika tersentuh oleh arus keyakinan yang timbul dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang mulia.
Kejadian ini merupakan petunjuk bagi
setiap muslim bahwa sesungguhnya kekuatan keburukan itu, betapa pun
sewenang-wenangnya ia dan betapa pun berkuasanya ia, tak akan dapat
melawan kalimat-kalimat yang mengandung cahaya, dan tiang-tiangnya akan
hancur apabila tersentuh oleh rahasia yang tersembunyi dalam
kalimat-kalimat Allah ini.
Berita-berita tentang kejadian ini
sampai pula kepada orang-orang yang hijrah ke Habasyah, tetapi beritanya
sama sekali berbeda dengan keadaan yang sebenarnya. Berita yang sampai
kepada mereka adalah bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam. Maka
kembalilah mereka ke Makkah pada bulan Syawwal tahun itu juga.
Ketika mereka telah berada di dekat
Makkah di suatu siang dan mereka mengetahui masalah yang sebenarnya,
mereka pun kembali ke Habasyah. Tidak ada yang masuk ke Makkah di antara
mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi atau dalam perlindungan seorang
musyrik Quraisy, seperti Al-Walid bin Al-Mughirah dan Abu Thalib bin
Abdul Muththalib.
Ruqayyah dan suaminya juga kembali.
Ketika sampai ke perkampungan Makkah, ia
segera menuju ke rumah ayahnya, karena sangat rindunya. Kemudian kedua
saudaranya, Ummu Kultsum dan Fathimah, segera menemuinya. Mereka
memeluknya dan mengalir air mata di pelupuk mereka karena perpisahan
yang singkat namun lama. Walaupun singkat dalam masanya, lama dalam
kerinduan dan penderitaannya.
Setelah itu tampak hakikat yang
sebenarnya bahwa kaum Quraisy tetap berada dalam kekufurannya,
penentangannya, dan gangguannya. Lalu orang-orang yang hijrah pun
kembali ke Habasyah.
Ruqayyah kembali bersama suaminya, Utsman bin Affan, untuk hijrah kedua kalinya.
Kaum Quraisy melihat bahwa ada bahaya
yang mungkin tersembunyi pada mereka yang hijrah ini. Mereka khawatir
daerah Islam meluas ke luar Makkah dan kemudian kaum muslimin yang ada
di Makkah mendapatkan orang-orang yang menolong mereka dan membantu
mereka dalam hal-hal yang mereka butuhkan.
Dalam Perlindungan An-Najasyi
Kemudian orang-orang Quraisy berpikir
untuk mengirim dua orang utusan dan membekali mereka dengan
hadiah-hadiah yang dapat mereka bawa untuk An-Najasyi. Kaum Quraisy
memilih dua orang yang cerdas di antara mereka. Mereka ingin merusak
hubungan baik antara An-Najasyi dan orang-orang yang hijrah. Pilihan
mereka jatuh pada Abdullah bin Abi Rabi‘ah dan Amr bin Al-Ash bin Wail
As-Sahmi. Mereka pun mengumpulkan hadiah-hadiah yang akan dibawa
keduanya untuk An-Najasyi.
Maka bertolaklah mereka di depan mata Nabi Muhammad SAW serta para sahabat dan keluarganya yang tetap tinggal bersama beliau.
Abu Thalib merasa kasihan kepada mereka
yang berada di negeri Habasyah. Di antara mereka terdapat putranya,
Ja‘far bin Abi Thalib, dua anak dari anak-anak perempuannya, Barrah dan
Umaimah, dan Ruqayyah, cucu saudaranya, Abdullah. Ia khawatir akan
mereka dari tipu daya Amr dan sahabatnya. Maka ia menggubah sebuah syair
yang ditujukan kepada Najasyi, mengharapkan kemurahannya agar berkenan
membela umat Islam, yang telah memilih untuk berlindung kepadanya.
Hati Sayyidah Fathimah yang bersih juga
bergetar karena khawatir akan nasib saudaranya, Ruqayyah, dan suami
saudaranya itu. Ia juga khawatir akan kaum muslimin lainnya yang berada
dalam perlindungan An-Najasyi. Ibunya melihat bahwa di wajahnya terdapat
kekhawatiran yang tak diungkapkan oleh lisannya.
Namun Ummu Kultsum dapat menenangkannya
dan segera mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya Allah akan menolong
mereka yang hijrah itu terhadap `Amr dan sahabatnya. Sesungguhnya
pertolongan Allah itu dekat. Tidakkah kemarin engkau melihat, wahai
Fathimah, kejadian yang menakjubkan dan mulia ketika ayahmu membaca
surah An-Najm dan kemudian para pembesar dari mereka yang kufur dan
menentang itu ikut sujud. Bukankah ini pertolongan dari Allah Ta`ala dan
petunjuk dari-Nya yang disadari oleh hati-hati yang beriman?
Sesungguhnya mereka yang kafir itu seandainya tidak mau beriman mereka
akan hina. Bukankah keadaan mereka ini merupakan petunjuk menyerahnya
mereka dan kehinaan mereka? Sesungguhnya Allah Ta`ala bersama mereka
yang hijrah yang keluar di jalanNya.
Sekali-kali Allah tidak akan menghinakan
mereka dan sesungguhnya Allah akan menolong orang yang menolong
agamaNya. Dan mereka itu memang menginginkan pertolongan Allah dan ingin
menyampaikan agamanya kepada semua yang berada di muka bumi.”
Sikap Rasulullah yang diam juga
menenangkan Fathimah, karena beliau tidak berkata-kata menurut hawa
nafsunya dan tidak ada sesuatu melainkan tampak pada wajahnya. Jika ada
suatu kebaikan, wajahnya diliputi kegembiraan dan kebahagiaan; dan jika
ada keburukan, wajahnya berubah menampakkan apa yang beliau tahan dalam
dirinya.
Dua orang utusan kaum Quraisy itu pergi
ke Habasyah. Mereka menyerahkan kepada setiap orang suatu hadiah,
kemudian mereka menyampaikan hadiahnya kepada An-Najasyi. Mereka meminta
An-Najasyi agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang
meninggalkan agama mereka. Lalu terjadilah persaingan antara yang haq
dan yang bathil, antara keimanan dan kekufuran, antara sumber-sumber
kebaikan dan sumber-sumber keburukan. Kemudian menanglah kebaikan, iman,
dan kebaikan, atas kebathilan, kekufuran, dan keburukan.
‘Amr dan Abdullah kembali ke kaum
Quraisy dengan tangan hampa. Mereka membawa kegagalan dan kehinaan. Maka
tahulah kaum Quraisy bagaimana sikap An-Najasyi dan bahwa semua yang
ada di tempatnya akan berada dalam perlindungannya dengan aman, dan
bahwa usaha apa saja dari kaum Quraisy agar An-Najasyi mau mengembalikan
kaum muslimin yang hijrah tidak akan berhasil.
Fathimah yakin, kedua utusan itu telah
kembali dalam keadaan terhina. Ia juga yakin, Allah akan menolong agama
ini, baik di Makkah maupun di luar Makkah. Tidak ada kejadian-kejadian
yang dialami kaum muslimin melainkan merupakan isyarat-isyarat dari
Tuhan sekalian alam yang membuat hati setiap mukmin menjadi tenang. Itu
isyarat yang jelas, tidak ada kesamaran di dalamnya, dan memiliki maksud
yang penting yang menguatkan hati orang-orang yang beriman.
Setiap kali awan semakin banyak
kilat menyambar
hujan akan turun
dan awal hujan itu adalah rintik-rintik
Jika kesulitan bertambah berat, akan
datang cahaya kemudahan. Kesulitan dan kemudahan itu dua hal yang
bercampur sampai kemudahan dapat mengalahkan kesulitan. Bagaimana pun
beratnya langkah kesulitan, pasti suatu hari kemudahan akan dapat
mengalahkannya.
Kapankah tepatnya Beliau tiba di Madinah?
Beragam informasi dijumpai pada
kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq
menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib),
Rasulullah SAW singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13
kenabian atau 24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau
9.00).Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin ‘Auf selama
empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal atau 27 September 622 M
dan membangun masjid pertama; Masjid Quba. Pada hari Jumat 16 Rabi’ul
Awwal atau 28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah.
Di tengah perjalanan, ketika beliau
berada di Bathni Wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Bani
Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jum’at (dengan turunnya ayat 9 surat
al-Jum’ah). Maka Nabi shalat Jum’at bersama mereka dan khutbah di tempat
itu. Inilah shalat Jum’at yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah
melaksanakan shalat Jum’at, Nabi SAW melanjutkan perjalanan menuju
Madinah.Keterangan di atas menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada
hari Jum’at 16 Rabi’ul Awwal atau 28 September 622 M. Sedangkan ahli
tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal atau 5 Oktober
621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jum’at 12 Rabi’ul Awwal atau
24 Maret 622 M.
Terlepas dari perbedaan tanggal dan
tahun, baik hijriyah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya
bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan
bulan Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622
M).(alkisah.web.id)
RUJUKAN :
(*)Tarikh at-Thabari, I:571;
(*) Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22;
(*) Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !