Headlines News :

MUTIARA ISLAM

“Sesungguhnya suatu amalan jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas, maka juga tidak akan diterima hingga ia ikhlas dan benar. Adapun ikhlas adalah karena Allah & benar adalah menurut sunnah Rasulullah". Fudhoil bin Iyadh
Home » » Syarah Hadits Arba'in ke 1 "Niat"

Syarah Hadits Arba'in ke 1 "Niat"

Written By Unknown on Rabu, 03 Desember 2014 | 08.02

(Ramule.com) Rasulullah saw bersabda :
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ( إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى ، فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ، ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ).رواه البخاري ومسلم
Artinya :
Dari Amirul Mu’minin, Abu Hafsh, ‘Umar ibn al-Khattab, radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah –Shallallahu alaihi wasallam- bersabda : “Sesungguh semua amal itu tergantung pada niat melakukannya. Seseorang hanya akan mendapat sesuai apa yang ia niatkan. Siapa yang berhijrah karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya untuk Allah dan RasulNya. Siapa yang berhijrah karena mencari dunia, atau perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang ia niatkan.” Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhory dan Muslim dalam dua kitab shahihnya.

Tema Sentral Hadits ini:
Yang menjadi tema sentral di dalam Hadits ini ialah menerangkan masalah ikhlas dan kedudukan niat dalam suatu amal. Seseorang akan mendapatkan hasil dari amalnya sesuai dengan niatnya.
Latar belakang Munculnya Hadits ini:
Kata Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, barangsiapa yang berhijrah (meninggalkan suatu negeri dan pindah ke negeri lain) menginginkan sesuatu, maka ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan itu. Ada seorang lelaki hijrah (dari Makkah ke Madinah) dalam rangka mau menikahi seorang perempuan bernama “ummu Qays”, lalu iapun diberi gelar “Muhajir Ummu Qays”.Kata Imam Thabrany, orang tersebut melamar ummu Qays, tapi ummu Qays menolak, kecuali orang itu mau ikut bersama hijrah ke Madinah. Lelaki itupun bersedia, oleh karenanya ia diberi julukan di atas.
Komentar Ulama tentang Hadits ini:
Muhammad Tatay penulis kitab “Iidhah al-Ma’ani al-Khafiyyah fil Arba’in an-Nawawiyah” mengutip ungkapan Imam Syafi’i yang mengatakan, bahwa Hadits ini masuk dalam tujuh puluh bab fiqh.. Sebagian Ulama mengatakan: Hadits ini mewakili sepertiga Islam. Banyak Ulama yang mengawali kitab mereka dengan menyebutkan hadits ini, termasuk Imam al-Bukhory di awal kitab Shahihnya.
Penjelasan:
Sungguh. Hadits ini mengandung pelajaran yang teramat penting. Karena semua amal manusia, diterima ataui tidaknya, tergantung pada niat ikhlas karena Allah Ta’ala. FIrman Allah :
“Dan mereka tidak diperintah melainkan menyembah Allah dengan memurnikan kethaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (Surat al-Bayyinah :5).
Begitu banyak amal yang dikerjakan orang tidak atas dasar keikhlasan kepada Allah, akhirnya amal mereka sia-sia. Contoh riil, banyak kita saksikan, ketika menjelang pemilu (pemilihan umum) atau pilkada (pemilihan kepala daerah). Para calon yang akan dipilih datang minta dukungan dari masyarakatnya, menabur bantuan social, dari mulai sembako (bahan makanan) hingga uang, kepada fakir miskin dengan tujuan untuk memperoleh suara dalam pemilu dan pilkada. Bantuan seperti ini, baik material ataupun tenaga, tidak dimaksudkan untuk mencari ridho Allah, akan tetapi untuk mendapatkan suara pemilih, maka bantuan itu tidak akan dinilai oleh Allah Swt, alias sia-sia. Kalau kita membaca hadits-hadits di seputar riya’ membuat kita takut melakukan amal yang tidak didasari atas keikhlasan.
Dalam salah satu hadits Qudsy, disebutkan firman Allah, “Aku adalah sekutu yang paling kaya. Barangsiapa yang beramal, lalu ia menyertakan Aku dan sekutu (sesuatu) yang lain, maka Aku berlepas diri darinya dan Aku tinggalkan ia dan sekutunya”. Artinya amal itu sia-sia tidak dipandang oleh Allah.
Banyak orang kita lihat tingkat keberagamaannya (kesolehannya) ketika menjelang pemilu/pilkada, meningkat. Ia rajin datang ke Masjid, suka mendengar pengajian, bahkan memnberi sumbangan. Namun niatnya tidak lebih hanya mencari simpati orang, menunjukkan ke public, bahwa dirinya pantas dipilih, karena ia insan yang taat beragama. Mereka kira Allah bisa ditipu. Manusia mungkin bisa ditipu, tetapi Allah tidak bakal bisa ditipu.
Jadi niat yang baik (ikhlas) bila dipakai untuk perbuatan yang baik dan dibenarkan, akan melahirkan pahala yang besar. Tapi niat yang “baik” bila dipasang pada perbuatan yang salah, jelas tidak akan membuahkan pahala. Niat yang salah (buruk) bila dipakaikan untuk pekerjaan yang baik apa lagi yang terlarang, tidak akan menghasilkan apa-apa melainkan dosa..
Apakah ada niat yang baik dipakai untuk pekerjaan yang salah?
Sebagai contoh, di masyarakat sering kita dengar penyalahgunaan makna sebuah istilah. Umpamanya dalam praktik korupsi, kerjasama orang yang memberi sogok dan yang menerima sogok, menurut mereka saling membantu. Sedang sikap saling membantu adalah sikap yang dianjurkan oleh Islam.Yang disogok, mengaku membantu kelancaran urusan si pemberi sogok. Dan si pemberi sogok mengaku merasa membantu orang yang disogok, dengan imbalan urusannya lancar, atau proyeknya menjadi mulus. Kata mereka, mereka saling membantu, yang biasanya dipahami sebagai perbuatan yang baik (khoyr). Na’uzubillah. Padahal mereka sudah terperosok dalam larangan Allah Swt : “Janganlah kamu tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran.”
Perbuatan baik jika ditumpangi niat yang salah, hasilnya akan sia-sia. Seperti orang pergi menunaikan haji, dengan tujuan untuk mendapat penghargaan dari masyarakatnya, memperoleh penghormatan dari lingkungannya, dan untuk meyakinkan orang lain akan tingkat keberagamaannya. Maka perbuatannya ini sia-sia belaka. Begitu juga orang yang memberi bantuan atau hadiah dengan niat agar supaya disegani orang, karena suka memberi bantuan, pemberiannya itu hanya sia-sia tidak dipandang oleh Allah swt.
Perhatikan hadits Rasul Saw berikut: “Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal melainkan apa yang ditujukan semata-mata kepadaNya dan mencari wajahNya.”
Oleh karenanya, setiap Muslim harus memperhatikan sekali niatnya dalam melakukan perbuatan ibadah apapun, seperti shalat, puasa, bersedekah, menuntut ilmu agama, berjihad, menolong orang yang lemah, membantu orang yang membutuhkan, dan seterusnya. Ia harus menjaga niat atau motivasinya dalam melakukan sesuatu semata-mata karena mencari ridho Allah, bukan mencari simpati manusia, agar dipuji, agar, disegani, dihormati dan diagung-agungkan.
Dalam keidupan di zaman modern ini, banyak sekali kita lihat orang-orang berbuat kebaikan, tetapi tujuannya bukan mencari ridho Allah, tetapi untuk pamer dan mempertontonkan kebaikannya. Ada sebagian orang mengundang anak-anak Panti Asuhan untuk dijamu makan, lalu mereka undanglah televisi atau media supaya beritanya ditayangkan di televisi dan iapun diwawancarai. Setelah itu iapun ditonton orang dan dipuji, sebagai orang dermawan. Banyak di antara mereka ini profesinya sehari-hari jauh dari tuntunan agama, seperti artis sinetron atau bintang iklan, pelawak, presenter yang memamerkan paha dan dadanya di depan publik. Mereka kira dengan menjamu anak-anak yatim, persepsi orang akan serta merta berubah terhadapa mereka. Tak jarang juga mereka pergi melaksanakan umroh atau haji untuk tujuan duniawi itu, agar supaya citranya di masyarakat berubah jadi baik. Ibadah mereka hanya untuk pamer, tidak akan dilihat oleh Allah Swt. Juga ada sebagian orang yang menghadiri Majelis Taklim, khususnya di kalangan ibu-ibu, tujuannya untuk memamerkan bajunya yang mahal, perhiasannya yang indah. Hingga dalam menuntut ilmu dien sekalipun, tidak boleh dilakukan dengan niat mencari pujian orang. Peringatan mengenai hal ini kita dapat dari Rasulullah Saw.
Dalam Hadits Shahih disebutkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang seharusnya dituntut karena mencari ridho Allah, akan tetapi ia menuntutnya dengan tujuan mencapai target duniawi, maka ia tidak akan mencium bau syurga”. Padahal baunya sudah tercium dalam empat puluh tahun perjalanan.
Ketulusan yang palsu:
Di zaman ini, banyak sekali kebaikan-kebaikan itu dipalsukan orang. Di depan public, ia berbicara bagus kedengaran, tetapi belakangan baru terbongkar motif hakiki atau niat yang asli. Banyak tokoh yang terjun ke panggung politik, apakah sebagai wakil rakyat, rame-rame mendirikan partai, ataupun sebagai pejabat eksekutif, ketika diwawancarai, penjelasannya sangat memukau banyak orang. Rata-rata mereka beralasan, mereka ingin menyumbangkan pikirannya dalam membangun bangsa, memperbaiki keadaan, mengentaskan kemiskinan, memajukan anak bangsa dan sederetan puisi dan pantun yang dapat dikarang untuk menipu public. Mereka mengira ucapan mereka tidak didengar oleh Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat, Allah ‘Azza wajalla. Tidak terlalu lama sejak mereka berbicara, kasus-kasus merekapun terbongkar melakukan korupsi, menghambur-hamburkan uang Negara. Memang tak semua orang yang terjun ke politik seperti itu, tapi kebanyakan mereka terjun ke sana, bukan untuk memperbaiki keadaan bangsa, tetapi karena tarikan dunia melalui jabatan yang dapat mengantarkan seseorang menjadi orang kaya mendadak, punya harta dimana-mana, tanpa susah payah mengusahakannya. Inilah yang dikatakan ketulusan yang palsu.k bangsa dan sederetan puisi dan pantun yang dapat dikarang untuk menipu publik. keadaan, mengentaskan kemiskin
Kombinasi niat yang dibolehkan:
Tidak semua kombinasi niat dianggap buruk dan terlarang sehingga mengakibatkan amal itu tertolak. Yang jelas dan nyata terlarang adalah niat karena Allah bercampur dengan niat untuk mencari simpati orang, mendapatkan pujian dan penghormatan orang lain. Perbuatan ini disebut Riya’, dan ini termasuk ‘syirik khafy’ (syirik yang tersembunyi).
Adapun percampuran niat karena Allah dengan sesuatu yang lain untuk mendapatkan keuntungan materil, menurut para Ulama, tidak sampai merusak amal itu, selama tujuan pendamping itu tidak dominan. Yang dominan adalah karena mencari wajah Allah. Seperti pergi haji, disamping untuk tujuan ibadah, juga untuk berbisnis, membawa barang dagangan untuk dijual atau dibeli di tanah suci. Sehingga ia kembali membawa ajrun (pahala) dan ujratun (keuntungan).
Dahulu para sahabat juga ketika keluar Jihad fi Sabilillah, mereka berdoa agar diberikan Allah lawan tarungnya orang yang kaya. Sehingga kalau orang musyrik kaya itu mati terbunuh, maka yang mengalahkannya mendapatkan salab (harta bawaan) yang banyak. Sikap ini tidak dilarang oleh Nabi Saw. Kalau sekiranya itu salah, niscaya akan ada hadits yang melarangnya.. Justru Rasul bersabda : “Barangsiapa yang membunuh seorang (musyrik) dalam suatu perang, maka ia akan memperoleh salab (harta bawaan)nya.”
Niat dalam perspektif Ahli Fiqh
Menurut Ahli Fiqh, niat berfungsi sebagai pembeda antara ibadah dan kebiasaan. Juga membedakan antara satu ibadah dengan Ibadah lainnya. Contoh sederhana saja mandi atau bersuci. Mandi bisa saja tujuannya untuk menyegarkan badan yang lesu, atau menghilangkan keringat. Ini dinamakan mandi karena kebiasaan atau karena kebutuhan. Tapi ada mandi yang tujuannya ibadah, yaitu mengangkatkan hadats besar, mandi selesai haydh bagi wanita, mandi untuk pergi shalat Jum’at. Ini semuanya mandi untuk tujuan Ibadah.
Jadi dengan niat, sebuah perbuatan berubah dari kebiasaan yang tidak menghasilkan pahala menjadi ibadah yang mendatangkan pahala bahkan menjadi kewajiban.
Perubahan niat di tengah perjalanan:
Tak dapat dipungkiri untuk menjaga kelestarian niat yang ikhlas dari sejak awal perbuatan itu dilakukan hingga akhirnya dan untuk seterusnya, bukan suatu hal yang mudah. Bahkan hampir tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali hanya sedikit. Lalu apakah ketika terjadi perubahan di tengah perjalanan amal itu, akan menghancurkan amal itu secara total?
Para Ulama menerangkan, bila suatu amal sudah diawali dengan niat ikhlas karena Allah, maka perubahan yang mungkin terjadi di tengah perjalanan, karena factor-faktor kelemahan diri sebagai manusia, maka tidak sampai menghancurkan amal itu seluruhnya. Demikian dikatakan Imam Ash-Shan’ani di dalam Subulussalam.
Ini memang realistis. Andaikan perubahan itu menghancurkan amal seluruhnya, niscaya sangat menyulitkan posisi manusia sebagai hamba Allah yang lemah. Allah Swt Maha mengetahui akan kelemahan hambaNya. Untuk mengantisipasi ini, maka setiap Muslim hendaknya senantiasa segera kembali kepada Allah setiap kali Syaitan mengalahkannya, dengan memperbanyak istighfar dan meminta kepada Allah agar amalnya diterima di sisiNya. 

diambil dari : hasanalbanna.com
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | JR | JR
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. Ramule - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by JR