Headlines News :

MUTIARA ISLAM

“Sesungguhnya suatu amalan jika dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka ia tidak akan diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas, maka juga tidak akan diterima hingga ia ikhlas dan benar. Adapun ikhlas adalah karena Allah & benar adalah menurut sunnah Rasulullah". Fudhoil bin Iyadh
Home » » Adik Asyeeem

Adik Asyeeem

Written By Unknown on Selasa, 06 Januari 2015 | 20.08

(Ramule.com) Ada yang tau... gimana rasanya punya adik banyak? Kalau pertanyaan itu ditujukan ke gue, dengan mantab gue akan menjawab, rasanya nyaris kayak permen nano-nano yang dominan asemnya. Serius!

Gini ceritanya... gue punya adik lima, tiga cowok dua cewek. Di bawah gue persis namanya Januar, kelas sebelas SMA, umurnya 16 tahun. Di bawahnya lagi kelas sembilan SMP namanya Febri, umurnya 14 tahun. Selanjutnya Mare duduk di kelas tujuh SMP berumur 12 tahun, April kelas lima
SD umurnya sepuluh tahun. Terakhir yang paling bontot Mai kelas tiga SD, umurnya delapan tahun. Dan faktanya, lebih gampang ngurusin seratus bebek deh daripada lima adik yang super duper kayak mereka.

Then, coba perhatiin deh, ada yang salah nggak sama nama adik-adik gue itu? Yak, waktu anda 60 detik dari sekarang untuk menjawab! (ini kuis apa sih?) Oke nggak usah dijawab, biar gue yang jawab sendiri. Hehee. Salah sih enggak, tapi menurut gue bapak sama ibu ini entah terlalu kreatif atau nggak mau ribet soal ngasih nama buat anak-anaknya. Soalnya semua nama adik gue itu diambil dari nama bulan kelahiran mereka masing-masing. Sungguh sangat kreatif, bukan? Bukaaannnnnn… (ada yang kompak jawab)

Sampai sekarang gue sendiri nggak paham, bisa-bisanya mereka semua lahir dalam rentang umur yang sama, dua tahun, kemudian bulannya berurutan: Januari sampai Mei. Pernah gue tanya ke ibu kenapa bisa begitu, eh ibu malah nyuruh gue nanya ke ayah. Gue tanya ke ayah, eh ayah malah balik menuding ibu yang lebih tau. Ah, pusiiingg tujuh keliling kayak lagi ngejar maling! Akhirnya gue putusin untuk bertanya pada rumput tetangga yang lebih hijau. *loh?* Biar deh itu menjadi rahasia Ilahi.

Ukuran zaman dahulu kala, tepatnya zaman purba, atau zaman neneknya nenek kita, *ribet amat yak, Sodarah-sodarah* punya enam anak itu masih sedikit katanya, belum ada apa-apanya. Nenek gue pernah cerita dengan bangganya punya banyak anak. Tau apa yang membuat bangga? Jawabannya adalaaaah... karena kalau ditanya orang, berapa anaknya sekarang, Bu? Nenek akan dengan bangga menjawab: dua lusin, Buuu... *ala-ala ibu-ibu rumpi gitu*

Sempet kefikiran, itu yang dilahirin nenek gue anak apa piring ya? Sampai berlusin-lusin begitu. Eh... dengan gaulnya nenek gue jawab lagi: punya anak lusinan itu biasa! *kalau luar biasa, terus kita harus bilang WOWWW gitu?

For your information juga: hal lain lagi yang kata nenek biasa itu adalah ketika pergi ke sawah dengan menenteng anak di tangan kiri, yang lainnya gelantungan di tangan kanan. Satu lagi nangkring di gendongan belakang, bahkan di atas kepala pun jadi. Yaaa.. ibaratnya angkot, kanan enam kiri empat depan dua, yang nggak muat asal sempilin aja yang penting keangkut semua. Emang dewa dah nenek gue yang satu ini!

Kembali keeee konteks… Gue mau curcol nih, guys. Punya lima adik itu banyak banget menurut gue. Repotnya nggak bisa dideskripsikan dengan kata-kata. Kalau gue ceritain sudah barang tentu nggak akan tuntas sehari semalam saking panjangnya (hehe... udah kayak cerita seribu satu malam aja ya...?). Tapi ini beneran. Kalau mau makan harus dibagi sama besar ukurannya, ditimbang dulu juga beratnya biar sama rata. Mau makan aja sampai kenyang duluan saking lamanya proses bagi-membagi. Nggak cuma makan, mau tidur pun harus dibagi sama luasnya. Pokoknya prinsip keadilan harus ditegakkan, asal jangan pas udah pada gede nanti harus berbagi suami juga. *Eaaaaa galauuuu

Tapi deritanya jadi anak sulung yaaa seperti gue ini. Senang dibagi sama rata, giliran yang susah ditanggung sendiri. Mulai dari nimba air, nyuci pakaian, masak, beres-beres rumah dan tetek bengeknya. Lalu adik-adik gue itu? Mereka cuma jadi penonton setia saat gue mengerjakan itu semua. Asemmm seasem asemnyaaa!

Oh iya lupa ngenalin diri, padahal udah cerita panjang lebar. Nama gue Desjanu. Terdengar seperti nama orang India, yah? Hahaa, bukan berarti gue orang India, lho. No! Gue asli keturunan Indonesia, berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warna kulit gue aja sawo busuk, eh sawo matang. Rambut hitam lurus selurus jalan Sumatra (berarti keriting, dong? Hehe).

kalau adik-adik gue itu dinamai dengan nama satu bulan, nama gue gabungan dua bulan. Hebat, bukan? Kata ibu, gue lahir di antara akhir Desember dan awal Januari. Ceritanya pas lagi pergantian tahun. Ayah bilang pukul 23:59 setengah badan gue ini udah nongol ke dunia. Baru pukul 24.01 sepenuhnya badan gue keluar dari perut ibu. Ajaib ya gue... proses kelahirannya aja makan waktu setahun. Hahaa. Sampai-sampai antara ibu, bidan, kemudian ayah terjadi khilafiyah tentang waktu kelahiran gue.

“Assalamu'alaikum...,” salam belum dijawab, Januar sudah nyelonong masuk. Sepatu dan kaus kaki dibuka, tas diletak begitu aja, langsung ke dapur membuka tudung nasi.

“Lah, kok sambal tempe lagi, kak?” tanyanya.

“Masih syukur kakak buatkan sambal tempe. Coba kalau kakak bikinnya sambal kerikil, mau lo?”

“Yee... maksudnya yah diganti-ganti gitu, kan ada tahu, kacang, teri, atau ayam goreng...,” sungutnya.

“Ya udah, bilang sama ibu sana, minta ganti lauk makan. Bukan cuma menu nanti yang ganti, ayah kita juga nanti bisa ganti-ganti. Mau?” emot-emot murka gue udah mulai muncul nih menanggapi celotehannya si Januar.

“Yee... kak Des mosok bilang gitu sih? Segitunyaa!”

“Lagian, kamu itu nuntutnya kebanyakan. Ya disyukurin apa yang ada!” Gue masih jengkel.

Sebelum ia makan, gue mengasingkan nasi dan lauk buat keempat adik gue yang lainnya. Karena kalau makanan tetap di depan Januar, bisa-bisa tandas semuanya. Heran banget deh sama adik gue yang satu ini. Selera makannya buas banget. Buas sebuas buasnya. Bahkan kalau masih lapar dan sudah nggak ada jatah lagi untuknya, piring bekas makannya pun habis tanpa bersisa. Kalau sudah begitu, gue selalu terpikir untuk memulai bisnis pertujukkan kuda lumping. Kayaknya oke juga ya prospeknya.

Anehnya lagi, Januar kalau makan nggak pakai ngunyah tapi langsung ditelan bulat-bulat! Kata teman gue yang ahli kesehatan sih, kenapa Januar badannya tetap selidi, padahal makannya porsi makan induk gajah yang lagi hamil, bisa jadi cara makan Januar yang langsung menelan tanpa mengunyah. Cara makan seperti itu kurang bagus buat pencernaan. Sari-sari makanan yang diperlukan tubuh seperi karbohidrat, protein, vitamin, besi, alumanium, platinum (?) dan zat-zat yang lain tidak terserap sepenuhnya.

“Bisa juga karena cacingan, Des” tambahnya.

“Kalau cacingan, gue pikir sih gak mungkin,” tanggapku. Mana ada cacing yang sanggup hidup dalam perutnya yang tiap jam dimasuki petai. Hello... adik gue ini selain makannya buas, dia punya hobi hunting Leucaena glauca alias petai cina di kebun-kebun orang kampung. Dia nggak bisa tidur nyenyak kalau nggak makan petai! Bukankah salah satu khasiat petai bisa membasmi cacing kremi dalam tubuh sampai ke cucu bahkan cicitnya?

Nggak lama dua adik gue yang lain datang berbarengan, Febri dan Mare. Sampai di rumah bukannya ganti baju, cuci tangan, sholat, lalu makan, eh malah perang mulut.

“Gue abangan, adik tuh harus ngalah!”

“Eh, nggak bisa gitu juga, kali. Abangan donk yang harusnya ngalah!”

“Dasar adik keras kepala!”

“Emang! Kalo lembek namanya bubur! Weekk!”

“Sudah! Sudah! Telinga kakak bisa pecah dengar adu mulut kalian berdua! Kakak nggak mau tahu penyebab pertengkaran kalian. Pokoknya diam! Secepatnya ganti baju, sholat, lalu makan! Sana!” gue mengacung telunjuk ke arah kamar.

“Kalau nggak, kakak nggak bakal ngasih kalian makan dan tidur satu hari satu malam!”

Keduanya terdiam cemberut mendengar ultimatum gue. Hehehe... biar jelek-jelek gini titah gue dipatuhi juga ternyata. Keduanya beranjak dengan kedongkolan sangat.

Gue pungutin buah kapas-kapas yang jatuh di belakang rumah. Rencananya setelah dijemur bakal gue buatkan bantal. Ganti bantal yang semalam terbakar terkena obat nyamuk bakar. Sudah empat bantal ludes sebulan ini, dan semua karena ulah tidur April yang lasak! Bantal ia sepak sampai terjatuh mengenai obat nyamuk. Untungnya cepat tercium dan gue segera menutupinya dengan kain basah.

Kalau dia ditaruh di tengah tempat tidur, paginya bisa ditemukan di lantai. Paling blangsak, paling ribut. Apalagi kalau ia ditaruh di lantai, besok paginya pasti bisa ditemukan sedang mendengkur di langit-langit rumah. Kok bisa? Yang nggak kalah aneh lagi, volume ngoroknya bisa ngalahin suara bajaj-nya Bajuri. Berisik! Mulai nanti malam gue bersiasat akan mengkafani dia biar tidurnya tenang dan damai. Itu mah damai banget kali yah. Asal jangan dimasukin liang lahat aja. Huahahahaa *ketawa setan*

***

Selama bulan ramadhan, ibu yang sehari-harinya berjualan nasi beralih profesi membantu ayah jualan pakaian obral di emperan pasar. Nggak perlu pakai mikrofon, soalnya parade suara ayah dan ibu memanggil orang-orang sudah cukup membuat penasaran untuk melirik.

“Biar nenek lu nggak haji hajjah, ibu enggan jualan nasi di bulan puasa. Rasanya berdosa banget nggak hargain orang yang lagi puasa,” jelas ibu saat Mai bertanya mengapa nggak jualan nasi lagi.

Lauk telur dadar yang dipotong 4 x 4 cm dan dibentuk lope-lope biar unyu, gue bagi satu persatu ke atas piring. Begitu juga nasinya gue bagi rata, satu sendok nasi tiap orang biar nggak terjadi perebutan jatah makan nantinya. Minumnya gue atur di antara dua piring. Dengan kata lain, dua orang satu cangkir. Kalau kurang, dipersilakan minum air kobokan, itu juga kalo doyan. Tujuannya tidak lain dan tak bukan adalah menggalakkan slogan hemat air, hemat sabun, hemat tenaga untuk mencuci piring kotor. Di samping itu diharapkan akan tumbuh perasaan seibu, seayah, setempat tidur, seperjuangan, sepenanggungan yang terpupuk subur mengingat semakin menipisnya rasa persaudaraan di antara ummatmanusia saat ini. Uhuy, bahasanya!

Semuanya hikmat menyantap makanan. Sesekali ayah memberi wejangan agar adik-adik gue nggak membuat ulah.

“Kakak kalian sudah lelah bekerja. Baik budilah, ya... apa yang dia suruh kalian turuti,” pesan ayah. Hmmm... serasa pantat gue melayang dari tikar mendengarnya.

“Camkan itu! Ituu.. tuu.. tuu.. tuuu!” batin gue. *efek-efek bergema*

Dari mikrofon masjid, nazir menyampaikan imsak tinggal tiga menit lagi. Semua piring tandas. Gue dan April membereskan piring kotor dan membersihkan remah yang terjatuh. Nggak rela gitu remah nasi jatoh ke lantai. Pokoknya semut juga harus puasa, ckckckck.

Gue mau berbalik ke kamar mandi, tapi terdengar Febri dan Mare saling tarik kursi goyang peninggalan oppung-nya oppung. Sampai sekarang masih awet biar kata sudah puluhan tahun. Kursi itu satu-satunya harta warisan yang diperoleh ayah dari oppung. Sawah, rumah, ladang habis dibagi uda-uda gue di kampung sana. Ini kursi juga bisa di sini karena saat di penghujung usia senjanya oppung memilih menetap bersama kami. Oppung meninggal, tinggallah kursi ini menjadi bagian kami. Hiks... bahagia bukan diwariskan kursi goyang? Untung bukan utang yang diwariskan! Hehehe.

Febri menarik lengan Mare dari tempat duduknya, hampir aja terjungkal. Ia terkekeh berhasil mengambil kuasa atas kursi itu. Nggak mau diam, Mare menolak kursi dari belakang dan hampir membuat Febri terjerembab. Keduanya gue hampiri. Gue tarik kursi goyangnya dan mendudukinya sambil nyengir-nyengir puas.

“Sana ambil wudhu', sholat ke masjid!” Tubuh gue berayun ke depan-belakang.

“Yee... ini gara-gara lo!” Febri membentak Mare.

“Gara-gara lo yang nggak mau ngalah sebagai abangan!” Mare balas membentak.

“Sudah, sudah! Habis sholat, kakak akan bagi waktu setiap orang berapa lama mendudukinya.” Gue ini udah macem tukang mainan odong-odong ya, sodara-sodara. Segala kursi goyang aja pake dibagi jatah duduknya biar nggak rebutan. Ampuuun... ampuuun...!

“Gue pertama, ya kan, kak?” tanya Febri semangat.

“Nggak! Gue, kan, kak?” Mare nggak mau kalah.

“Kita tentukan nanti dengan melempar koin,” ucap gue tegas. Mereka beranjak lesu.

***

Ibu mengeluh hasil penjualan nggak selaris ramadhan tahun kemarin.

“Ibu dan ayah berencana seminggu ini mencoba ikut jadi kuli bangunan. Ibu harap kamu bisa menjaga adik-adik kamu,” ucap ibu dengan nada sedih bombay.

Gue yang mendengarnya berusaha meyakinkan ibu kalau semua bakal beres res res res. Nggak sampai hati gue menyampaikan kekritisan persediaan dapur. Gue hibur ibu dengan mengatakan bahwa persediaan beras masih banyak, telur dan minyak goreng masih mencukupi. Cukup untuk makan hari ini, besoknya nggak makan-makan lagi tapi. Glek!

Berbuka puasa tanpa ayah dan ibu. Kami ber-enam sudah duduk di atas tikar menunggu suara bedug bertalu dari masjid.

“Bukaannya mana, kak?” April bertanya.

“Lha, ini,” gue menunjuk tiga cangkir berisi air putih.

Januar nggak terlalu hirau, karena di tangannya sudah ada seikat petai. Sedangkan Febri dan Mare menatapku seolah bertanya, “Kok bisa? Kemarin-kemarin masih ada teh manis yang menemani dan tiga roti kelapa yang dibagi enam kepala”

Mai menggelayut di lengan gue.

“Maunya tadi kita buka bersama di rumah Bu Haji, kan? Ada bubur kacang ijo, loh...,” ucap April pada Mai nyari partner buat buka puasa gratisan di rumah Bu Haji.

“Hmm... itu kan diperuntukkan buat anak-anak yatim, dek. Kita kan masih punya ayah dan ibu yang menyayangi kita. Apa yang ada disyukuri aja lah,” gue menyela sebelum si Mai tergoda ajakan April.

April dan Mai masih terlalu kecil untuk memahami kalimat gue barusan. Di angan mereka itu adalah keinginan-keinginan yang nikmat.

Bedug dipukul. Gue menyuruh Januar memimpin doa.

“Doa apa, kak?” tanyanya

“Doa mau tidur!” ucap gue acuh.

“Kak Des, ditanya bagus-bagus, jawabnya ngawur!”

“Yee... lo nya aja yang nggak nyadar. Waktu begini kan mau buka. Bukan mau tidur!” gue membela diri.

“Allohumma lakasumtu wabika amantu wa 'ala rizqika aftortu birohmatika ya arhamar roohimiin...”

***

Tiga hari lagi lebaran. Tetangga-tetangga gue sibuk membuat kue, mencat rumah, beli baju baru, sendal baru, tas baru, suami baru (eh?). Gue sibuk dengan pikiran sendiri. Adik-adik sudah mulai menyanyikan lagu permintaan 'baju lebaran' dan 'kue lebaran'. Ayah dan ibu belum pernah pulang sejak berangkat ke kota. Kayaknya mereka lupa punya anak enam ekor di desa.

Gue sedikit iri melihat mereka yang pulang dari perantauan. Mereka pulang dengan membawa segala kemegahan. Kedatangannya dielu-elukan sebagai orang yang berhasil. “untung bukan di gue-guekan” Orang-orang bertandang ke rumahnya demi mendapatkan oleh-oleh lalu cerita yang terkadang dibual agar terdengar wah.

“Kak, aku sudah punya baju lebaran. Bagus, kan?” Mai datang memperlihatkan baju gamis berrenda.

“Aku juga..,.” April menunjukkan bajunya layaknya pragawati.

Gue melongo, nggak tahu mau bertanya apa. Mare dan Febri tiba-tiba bersorak seolah-olah menang undian. Keduanya memperlihatkan kemeja polkadot dan celana jeans.

Nggak lama, Januar datang dengan baju piyama di tangannnya.

“Aku cuma dapat ini...” ucapnya lemas putus asa.

“Semua berbariiiss...!” perintah gue.

“Siaap grak!”

Satu per satu gue interogasi dari mana mereka mendapatkan pakaian-pakaian itu.

Satu sampai lima jawabnya, “Bang Bambang...”

“Siapa itu?” tanya gue pada Januar.

“Teman kakak satu kelas waktu SMA,” jawabnya. Masih dengan badan tegak.

Otak gue berputar bagai gasing mengingat siapa Bambang.

“Kakak nggak punya teman bernama Bambang! Adanya Joko! Kenapa kalian bertandang ke sana, hah? Kalian mengemis, ya?” mata gue melotot ke arah Febri.

“Bambang itu nama samaran, nama aslinya alias Parto, kak. Kita nggak bertandang ke sana. Dia yang memanggil kami satu per satu.”

“Hah? Parto? Temennya Sule itu?”

“Jehh... bukan, kak! Parto itu, kayak kita gini nih dandanannya,” jawab Febri ngasal.

“hah???” mukanya pada cangak semua.

“oalahh... itu sih KATROK, KAK FEBRI!!” balas Mai

Gubrakkkk. Seketika hening.

“Sudah, nggak pake bercanda... makan dulu sanaahh! Ada mie ayam sepesial, tuh!” hayaaah, ini kenapa jadi gue yang kut-ikutan nggak serius?

“Oke, sekali lagi kakak tanya kaaa...” belum selesai gue berkata, Januar sudah memotong.

“Pokoknya dia banyak nanya tentang kakak. Terus dia juga nanya apakah kami setuju kalau dia melamar kakak?”

“What? Lantas kalian jawab apa?”

“SETUJUU...!” serempak mereka menjawab. Kepala gue terasa berat. Entah karena kebanyakan dosa atau apa.

“Kalau kami setuju, dia bakal memberi kami baju satu per satu. Kalau nggak, Mai nggak dapat ini...,” Mai dengan polosnya menjawab. Saking polosnya, pengen gue pites.

“Aseemmmmmm kalian iniiiiiiii yaaaaa!!!!”
Selesai.

Di ambil dari : annida online
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | JR | JR
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2014. Ramule - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by JR