(Ramule.com) Ayat wilayah itu
maksudnya ayat yang berbicara tentang hak kepemimpinan terhadap umat islam.
Yang dimaksud ayat wilayah oleh kaum syiah adalah firman Allah :
إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ
آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ
رَاكِعُونَ (المائدة : 55)
Artinya :
“Sesungguhnya yang berhak menjadi wali
(Penolong/pemimpin) bagi kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat seraya mereka rukuk (tunduk
kepada Allah).” (QS. Al-Maidah :55)
Dengan ayat ini kaum syiah berdalih bahwa Ali adalah
orang yang lebih berhak memegang kepemimpinan umat islam (setelah wafatnya
Rasulullah) mendahului Abu Bakar, Umar dan Utsman. Titik yang mereka jadikan
dalil sebetulnya tidak termaktub dalam nash ayat, tetapi pada sebab turunnya
ayat ini. Bila kita lihat nash ayat ini, sama sekali tidak menyinggung nama
Ali, tidak pula nama seorang sahabat Rasulullah yang lain. Ayat ini hanya
menyebutkan Allah, Rasulullah, dan orang-orang yang beriman secara global
dengan ciri-ciri mendirikan shalat dan membayar zakat seraya rukuk (tunduk)
kepada Allah. Jadi, dimanakah letak dalil bahwa Ali adalah orang yang berhak
sebagai penerus Rasulullah dalam memimpin umat? Mereka mengatakan dan meyakini
bahwa letak dalilnya ada pada peristiwa sebab turunnya ayat ini.
Menurut anggapan mereka, sebab turunnya ayat ini
berupa peristiwa bahwa pada waktu itu Ali sedang mengerjakan shalat, lalu
datanglah seorang pengemis yang meminta-minta pada orang-orang yang hadir
ditempat itu, namun tidak seorang pun yang sudi memberinya. Setelah itu orang
tersebut dating kepada Ali yang sedang melakukan rukuk. Kendati dalam keadaan
demikian, Ali mengulurkan tangannya yang bercincin dan sang peminta-minta itu tanpa
ragu mengambil cincin tersebut. Atas peristiwa ini allah menurunkan ayat, “Sesungguhnya
yang berhak menjadi wali (Penolong/pemimpin) bagi kalian hanyalah Allah,
Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan
zakat seraya mereka rukuk (tunduk kepada Allah).” (QS. Al-Maidah :55). Kaum
syiah mengatakan, “orang yang memberizakat dalam keadaan rukuk hanya seorang
saja, yakni Ali bin Abi Thalib”.
Ayat ini, atau yang lebih dikenal pada kalangan mereka
dengan sebutan ayat wilayah, merupakan dalil terkuat versi mereka dalam
permasalahan kepemimpinan Ali mendahului para sahabat lainnya. Sekarang mari
kita lihat kenyataan sebenarnya, aakah ayat ini menunjukkan seperti yang mereka
maksud ataukah tidak.
Hal yang layak dikritik adalah angapan yang mereka
jadikan sebagai sebab turunnya ayat ini (seperti yang sudah diterangkan tadi),
makna teks redaksi, dan jalur periwayatan, kritik ini bisa kita sampaikan
melalui beberapa titik :
Pertama, terkait keharusan khusyuk dalam shalat. Pada tempat lain di dalam
Al-Qur’an Allah menyampaikan, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman
itu, (yakni) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun :
1-2). Dalam hadits, Rasulullah juga bersabda, “Sesungguhnya di dalam shalat
itu ada kesibukan.” (Shahih Bukhori, no 1199, Shahih Muslim no 34). Maksud
hadits ini, bahwa shalat itu sendiri merupakan kesibukan pelakunya dalam
menghadapkan diri sepenuhnya kepada Allah. Istilahnya adalah khusyuk. Sehingga,
pelaku shalat tidak diperkenankan melakukan kegiatan atau kesibukan lain diluar
gerakan-gerakan shalat.
Imam Ali –dalam pandangan kita yang mengikuti manhaj
ahlu sunnah wal jamaah- termasuk salah seorang pemimpin umat islam, kaum
beriman, dan orang-orang yang khusyuk. Sehingga sangatlah tidak pantas apa yang
digambarkan kaum syiah, bahwa Ali disibukkan melakukan gerakan lain ketika
shalat dalam rangka membayar zakat. Berkebalikan dengan mereka, kita justru
berpendapat bahwa Ali termasuk orang yang memegang kuat firman Allah, “Sungguh
beruntung orang-orang yang beriman itu, (yakni) orang-orang yang khusyuk dalam
shalatnya.” Sekaligus pribadi yang konsekuen mengaplikasikan sabda Nabi, “Sesungguhnya
di dalam shalat itu ada kesibukan.”
Kedua, adalah tentang prinsip zakat, dimana seorang muzakky (orang yang
membayar zakat) lah yang seharusnya memiliki inisiatif untuk menyerahkannya
tanpa menungu si fakir atau simiskin
daang lalu meminta zakat darinya. Perbuatan menunggu sifakir datang dan meminta zakat itu bukanlah suatu yang terpuji,
karena yang terpuji hanyalah jika si Muzakky berinisiatif memberikannya secara
sadar tanpa permintaan dari pihak si miskin. Dengan demikian, kita melihat
bahwa mustahil imam Ali melakukan hal tersebut, yakni menunggu orang fakir
menghampirinya kemudian barulah ia memberikan zakat harta pada orang itu.
Baca selanjutnya klik di sini
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !